Munir Said Thalib. Siapa yang tak kenal namanya. Seorang sederhana yang dengan segala keteladanan, keberanian, dan konsistensinya mengabdikan diri untuk keadilan dan demokrasi. Dalam ranah Hak Asasi Manusia terutama. “Totalitas”, satu kata yang mampu menggambarkan kesemua kontribusinya

11 tahun silam, tepatnya pada tanggal 7 September 2004. Sosok yang begitu inspiratif itu berpulang ke rumah abadinya. Dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia rute Indonesia-Amsterdam, Munir meninggalkan kita, meninggalkan Indonesia. Dari hasil otopsi yang dilakukan oleh Polisi Belanda  (Institut Forensik Belanda), ditemukan jejak-jejak senyawa arsenikum dalam tubuh Munir. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia.

Pollycarpus dijadikan dalang utama dalam proses peradilan atas kematian Munir. Ditetapkan sebagai tersangka dengan hukuman penjara selama 14 tahun. Banyak dugaan yang kesemuanya mengarah kepada anggapan adanya aktor intelektual yang memiliki peran lebih besar.  Pelaku yang dipidana adalah pelaku teknis. Sedangkan yang menjadi pencetus ide masih bebas berkeliaran disekitar kita. Atau bahkan masih menduduki posisi yang strategis dalam berlangsungnya politik kenegaraan di Indonesia.  Jika dinalar secara logika, apa untungnya bagi Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir. Apa motif yang membuatnya bisa melakukan hal sebodoh itu?. Secara personal tidak ada alasan yang rasional dan relevan baginya untuk melakukan itu semua. Sekali lagi dugaan kuat adanya pelaku dibalik kematian Munir sangatlah besar. Entah siapa dan apa tujuannya. Mungkin oknum-oknum tertentu yang memang merasa “bisnisnya” terganggu akibat keberadaannya. Dari akumulasi kekesalan berujung  pada pemberian racun di udara yang dengan sengaja bertujuan untuk “membersihkan” Munir. Sudah barang tentu, aktivis sekelas Munir memiliki banyak  musuh. Tapi kesemua itu masih tak sebanding dengan jutaan masayarakat Indonesia yang selalu mengenang perjuangannya.

Hanya bermodal idealisme dan keberanian yang melampaui batas zaman, maka namanya pun menjadi harum sepanjang masa. Modal yang membawanya menjadi seorang pemuda yang membawa pengaruh cukup besar di Indonesia. Yang selama 11 tahun ini tidak pernah dilupakan. Atau bahkan sampai beratus-ratus tahun kemudian namanya masih terpatri rapi dan indah dalam sejarah HAM Indonesia.

Dalam bayang imajiner penulis, terlihat ada tembok-tembok besar  yang berusaha menutupi segala realita yang ada. Ada mata rantai yang terputus atau bahkan sengaja diputus.  Sehingga tidak mampu menyibak siapa dibalik siapa. Dan kasus menggantung di antara.

Membiarkan 11  tahun kasusnya buram, tak menyentuh motif utama dan aktor-aktor intelektual, sama halnya dengan mengekalkan sebuah impunitas : seorang yang vokal diwajarkan untuk dibunuh. Pilihan yang tersedia untuk kita adalah menuntut penuntasan kasus sebagai sebuah konsekuensi logis bagi yang merasa kehilangan atau dirugikan. Serta dengan terus mengawal hingga titik akhir kejelasan. Kehilangan Munir, kehilangan kita bersama. Dan pembunuhnya masih bebas berkeliaran diluar sana.
 
Meskipun jika berbicara hukum, tidak boleh atau bahkan sangat diharamkan melakukan praduga-praduga. Entah diterima atau tidak, kesemuanya seakan sudah tertata sedemikian rupa sehingga kasus seakan selesai dan bisa diterima dalam hukum positif Indonesia. Tapi yang pasti pemerintah hutang janji untuk menuntaskan kasus ini. Menuntaskan dan menemukan siapa saja yang terlibat didalamnya. Menyingkap tembok besar yang menghalangi, menuntaskan sampai ke ujung akarnya.


Hanya kata yang dapat terulang
Sedangkan waktu tidak
Entah apa yang mampu memperbaiki
Bahkan maaf pun tak dapat
Sesal
Ya Hanya itu